Selasa, 21 Agustus 2012

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H


KELUARGA  BESAR  PIMDA  145
TAPAK  SUCI  PUTERA  MUHAMMADIYAH
KABUPATEN  SERANG

MENGUCAPKAN

"SELAMAT  HARI  RAYA  IDUL  FITRI  1433  H"

"TAQOBALALLAHU MINNA WA MINKUM"


Harumnya  Aroma  Maaf  Mulai  Berbuah
Menutup  Lembaran  Ramadhan  Dengan  Sangat  Indah 
Menyambut  Datangnya  Hari  Suci  Penuh  Berkah 

Ya  Allah  .....  
Penuhilah  Hati  Ini  Dengan  Pemaafan 
Hiasilah  Hati  Ini  Dengan  Kesabaran  
Muliakan  Wajah  Ini  Dengan  Ketaqwaan 
Bimbinglah  Kami  Dengan  Keimanan 

Wahai  Saudaraku  .....
Bila  Ada  Ucapan  Yang  Membekas  Di  Jiwa
Bila  Ada  Tingkah  Laku  Yang  Menggores  Luka
Bila  Ada  Kata  Yang  Terangkai  Dusta
Bila  Idul  Firti  Adalah  Lentera  Yang  Menerangi  Jiwa
Izinkan  Aku Membuka  Tabirnya  Dengan  Cinta
Agar  Cahayanya  Menembus  Jiwa  Yang  Hampa
Menghapus  Dosa  Dan  Khilaf  Di  Dada

Wahai  Saudaraku  ..... 
Hati  Kita  Tak  Sebening  XL 
Hati  Kita  Pun  Tak  Secerah  MENTARI 
Banyak  Khilaf  Yang  Bikin  FREN  Merasa  Benci  
Oleh  Karna  Itu  Ku  Mohon  Maaf  Dan  SIMPATI
BEBAS  Kan  Aku  Dengan  Pemaafan  Sepenuh  Hati


Minggu, 12 Agustus 2012

MERIAHKAN 10 HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN I'TIKAF




MERIAHKAN 10 HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN I'TIKAF

tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]


Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]


Dari Abu Hurairah, ia berkata,


 كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا


 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]


Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,


 أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]


I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala


, وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ “


(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.


Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6]



Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]


 I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]


Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]


 Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?


Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,


 وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ


“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.


 Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]


Wanita Boleh Beri’tikaf


Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,


 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]


Dari ‘Aisyah, ia berkata,


 أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]


 Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]


Lama Waktu Berdiam di Masjid


Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]


 Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]


Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19].


Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20]


Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21]


adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]


Yang Membatalkan I’tikaf


1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.

 2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].


Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf


1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.

2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.

3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.

 4. Mandi dan berwudhu di masjid.

5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.


Mulai Masuk dan Keluar Masjid


 Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,


 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ


 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]


Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam. Adab I’tikaf Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id

 [1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

 [2] Al Mughni, 4/456.

 [3] HR. Bukhari no. 2044.

 [4] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.

 [5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

 [6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

 [8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

 [9] Fathul Bari, 4/271.

 [10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

 [11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

 [12] Lihat Al Mughni, 4/462.

 [13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

 [15] HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172.

 [16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

 [17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

 [19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

 [20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

 [21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

 [22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

 [24] HR. Bukhari no. 2041.

 [25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158 Dari artikel Panduan I’tikaf Ramadhan — Muslim.Or.Id by null

Rabu, 08 Agustus 2012

TUHAN SEMBILAN CENTI YANG BERNAMA ROKOK





“WAHAI PARA PESILAT WASPADALAH”

Indonesia Adalah Surga Bagi Para Perokok

Tempat Siksaan Bagi Orang Yang Tidak Merokok

Di Rumah Bapak Dan Anak Berebut Rokok

Di Sawah Para Petani Merokok

Di Pabrik Para Pekerja Merokok

Di Kantor Para Pegawai Merokok

Di Kabinet Para Menteri Merokok

Di Reses Parlemen Anggota DPR Merokok

Di Mahkamah Agung Yang Bergaun Toga Merokok

Hansip-Bintara-Perwira Juga Merokok

Di Perkebunan Pemetik Teh Dan Kopi Merokok

Di Perahu Nelayan Penjaring Ikan Merokok

Di Pekuburan Sebelum Masuk Kubur Orang Merokok

Bahkan Di Toilet Yang Sumpek Mereka Merokok
Indonesia Adalah Jannah Firdausnya Perokok

Teramat Sangat Ramah Bagi Para Perokok

Tempat Siksa Kubur Bagi Orang Yang Tak Merokok

Di Balik Pagar SMU Guru Dan Murid Merokok

Di Kampus Dosen Dan Mahasiswa Merokok

Di Sekolah Siswa Bertanya Tentang Cara Merokok

Di Angkot Sopir Dan Kondektur Merokok

Di Bis Kota Yang Sumpek Semua Merokok

Di Kereta Api Yang Sesak Antri Para Perokok

Di Kapal Penyeberangan Semua Penumpang Merokok

Di Atas Andong Pak Kusir Pun Merokok

Bahkan Kuda Andong Pun Minta Diajari Merokok

Negeri Ini Seperti Nirwana Bagi Para Perokok

Rokok Menjadi Dewa Yang Di Puju Dan Didamba

Rokok Menjadi Berhala Yang Disembah Manusia

Dan Rokok Telah Menjadi Tuhan Baru

Dialah Tuhan Sembilan Centi

Selasa, 07 Agustus 2012

KATAKAN TIDAK TERHADAP ROKOK

PARA SERDADU BERANI MATI ITU
ADALAH PEROKOK


Para Perokok Adalah Pejuang Yang Gagah Berani ...

Mereka Itulah Rombongan Serdadu Yang Berani Mati ...

Mereka Adalah Veteran Perang Dunia, Perang Vietnam, Dan Perang Revolusi ...

Bahkan Mereka Berperang Melawan Diri Sendiri ...

Perhatikanlah Upacara Mereka Ketika Menyalakan Belerang Berapi ...

Dengan Khidmatnya Batang Tembakaupun Di Hunus Diletakan Diantara Kedua Jari ...

Dengan Hormat Batang Neraka Itupun Disisispkannya  Diantara Dua Bibir ...

Dan Dengan Penuh Khusyu Di Gesernya Agak Ke Tepi ...

Sementara Itu Sudah Siap An naar ... Berupa Nyala Api Sebagai Sesaji ...

Hirupan Pertama Dilakukannya Dengan Penuh Kasih Sayang Dan Sangat Hati-Hati ...

Kemudian Dihembuskanlah Asapnya ... Ke Kanan Dan Ke Kiri ...

Mata Pun Terpicing-Picing Tampak Kenikmaan YangTiada Terkira ...

Berlindung Pada Adiksi Dari Tekanan Hidup Sehari-Hari

Lena Kerja ... Lupa Politik ... Mana Ingat Dia Dengan Anak Dan Istri ...

Para Perokok Adalah Serdadu-Serdadu Yang  Gagah Berani ...

Untuk Kenikmatan 5 Menit Mereka Tidak Peduli ... Penyakit Yang Menanti ...

Yang Setiap Saat Siap Menerkam Dari Setiap Penjuru Dan Sisi ...

Paru-Paru Obstruksi Kronik ... Bronkhitis ... Emfisema ... Gangguan Jantung ...

Pembuluh Darah ... Arteriosklerosis ... Bahkan Hipertensi ...

Dan Gangguan Pembuluh Darah Otak ... Kanker rongga mulut ...

Nashoparynx ... Oropharynx Hypopharynx ... Dan Rongga Hidung ...

Lalu Sinus Paranasal ... Lirynx ... Esophagus ... Dan Lambung ...

Belum Lagi Radang Pankreas ... Hati ... Ginjal ... Ureter Dan Kandung Kemih ...

Juga Radang Cervix Uteri Dan Sumsum Tulang ... Serta Infertilitas ...

Dan Bahkan Impotensi Pun Telah Menanti ...


Rokok  Yang Merupakan Abang Kandung Dari Narkoba ini ...

Ternyata Tak Tertandingi Dampaknya Dalam Hal Adiksi ...

4000 Macam Racun Dipadatkan Sepanjang Sembilan Senti ...

Untuk Orgamus Nikotin Itu Serdadu Tembakau Ini Mana Mereka Mau  Peduli ... 

Terhadap Hari Depan Anak Dan Istri ... Yang Masih Memerlukan Para Pencari Rezky ...

Terhadap Bagaimana Terlantarnya Kelak Nanti Para Janda Yang Ditinggal Mati ...

Para Serdadu Ini Sungguh Tidak Memiliki Rasa Peduli ...

Terhadap Pencemaran Udara Di Depan Dan Belakang Serta Dikanan Dan Kiri ...

Hanya Untuk Memuaskan Ego Dan Gengsi ... Karena Mereka Rela Mati ...

Hanya Untuk Mempertahankan Batang Yang Panjangnya 9 Centi

“MARI BERSAMA PERANGI ROKOK”
JADIKAN RAMADHAN SEBAGAI MOMENTUM
UNTUK BERHENTI MEROKOK
KATAKAN TIDAK TERHADAP ROKOK


SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN ( Bagian III)


“SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN”
Diringkas dari kitab : ” Sifat Saum Nabi fi Ramadhan “
(Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali & Syaikh Ali Hasan)

(Sumber : Tapak Suci Pontang)


 


Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla Sya’nuhu, yang dinamakan orang puasa adalah orang yang mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa, mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor dan keji, mempuasakan lisannya dari perutnya dari makan dan minum dan mempuasakan kemaluannya dari jima’. Jika bicara, dia berbicara dengan perkataan yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih. Inilah puasa yang disyari’atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib. Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah derajat Ketakwaan


Allah Ta’ala Menyebutkan dalam Firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah : 183)
Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Bersabda :

“Puasa adalah perisai”
Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair:

“Aku mengenal kejelakan bukan untuk berbuat jelek tapi untuk menjauhinya, Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akan terjatuh padanya”

YANG WAJIB DIJAUHI OLEH ORANG YANG SEDANG BERPUASA

Diantara hal yang wajib dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa adalah :
  • Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya” ( HR. Bukhari)
  • Perbuatan Sia-Sia Dan Kotor
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah: Aku sedang puasa, aku sedang puasa” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim)

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)” (HR. Ibnu Majah, Darimi, dan Ahmad)

Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya. Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah hingga tidak membatalkannya.



Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah.
  • Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah Azza Sya’nuhu berfirman :

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al-Baqarah : 187)

Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari dab Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa” (HR. Thahawi, Al-Hakim, Ibnu Hazm, dan Ad-Darukutni)
  • Muntah Dengan Sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa maka tidak membatalkan puasanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha’ puasanya” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
  • Haidh Dan Nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan mengqadha’ kalau puasa tidak mencukupinya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Bukankah jika haid dia tidak shalat dan puasa ? Kami katakan : “Ya”, Beliau berkata : … Itulah (bukti) kurang agamanya” (HR. Muslim)

Dalam Riwayat Yang Lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya”

Dalam Riwayat Mu’adzah, Disebutkan :

“Aku pernah bertanya kepada Aisyah : ‘ Mengapa orang haid mengqadha’ puasa tetapi tidak mengqadha shalat?’ Aisyah berkata : ‘Apakah engkau wanita Haruri, Aku menjawab : ‘Aku bukan Haruri, tapi hanya (sekedar) bertanya’. Aisyah berkata : ‘Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Suntikan Yang Mengandung Makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa. Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalalkan puasa.
  • Jima’ (Menggauli Istri)
Imam Syaukani, berkata:

“Jima’ dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima’ tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja.” (Dararul Mudhiyah)

 Ibnul Qayyim, berkata :

“Al-Qur’an menunjukkan bahwa jima’ membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini” (Kitab Zaadul Ma’ad)

Dalilnya Adalah Firman Allah Ta’ala :

“Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian” (Al-Baqarah : 187)

Diizinkannya bergaul (dengan istri) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima’. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima’ harus mengqadha’ dan membayar kafarat,

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, berkata :

“Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia berkata, ‘Ya Rasulullah binasalah aku!’ Rasulullah bertanya, ‘Apa yang membuatmu binasa?’ Orang itu menjawab, ‘Aku menjimai istriku di bulan Ramadhan’. Rasulullah bersabda, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ Orang itu menjawb, ‘Tidak’.
Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak’ Rasulullah bersabda, ‘Duduklah’. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah korma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Rasulullah bersabda, ‘Bersedekahlah’, Orang itu berkata, ‘Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah, berilah makan keluargamu” (HR. BUkhari, Muslim, Baghawi, Abu Dawud, Ad-Darimi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Jarud, Syafi’i dan Abdur Razak)


Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita, bahwasanya mengqdha’ puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat
  • Qadha’ Tidak Wajib Untuk Segera Dilakukan
Adapun Dalilnya adalah :

Dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, berkata :

“Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha’nya kecuali di bulan Sya’ban” (HR. BUkhari dan Muslim)

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani :

“Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha’ Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak.”

Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha’ lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur’an.

“Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian” (Ali Imran : 133)

Dalam Ayat Yang Lain Disebutkan :

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya” (Al-Mu’minuun : 61)
  • Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Mengqadha’ Karena Ingin Menyamakan Dengan Sifat Penunaiannya
Hal Ini Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS.
Al-Baqarah : 185)

Dan Ibnu Abbas, berkata:

“Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)” (HR. Bukhari)

Abu Hurairah, berkata:

 “Diselang-selingi kalau mau” (Lihat Irwaul Ghalil)
 
Peringatan

Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu’ dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha’, namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal Rahimahullah.
Abu Dawud berkata, dalam Al-Masail-nya hal. 95 : “Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha’ Ramadhan” Beliau menjawab : “Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut”. Wallahu ‘alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
  • Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apa Lagi Orang Lain Tidak Bisa Mengqadha’nya
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi. Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa, harus dipuasakan oleh walinya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya” (HR. Bukhari MUslim)

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata:

“Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi’iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm .
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa’il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud, dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : “Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar”. Abu Dawud berkata, “Puasa Ramadhan ?”. Beliau menjawab, “Memberi makan”.
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama.
Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat ‘Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah,
“Apakah aku harus mengqadha’ puasanya ?” Aisyah menjawab : “Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim.” (Diriwayatkan Oleh Thahawi dan Ibnu Hazm)
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah

Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, berkata:

“Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha’, kalau punya hutang nadzar diqadha’ oleh walinya.” (Diriwayatkan Oleh Abu Dawud dan Ibnu Hazm)

Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma adalah periwayatan hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nadzar.

Sa’ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?” Beliau bersabda : “Qadha’lah untuknya.” (HR. Bukhari dan Msulim)
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari’at sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud.
(Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha’ oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.

Al-Hasan, berkata :

“Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan.” (Diriwayatkan Oleh Bukhari)

Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.


  • Kafarat Bagi Laki-Laki Yang Menjima’i Isterinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima’i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha’ puasanya dan membayar kafarat yaitu: membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu makan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin. Ada yang mengatakan: Kafarat jima’ itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasa karena jima’. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
  • Gugurnya Kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari’at kecuali kalau ada kemampuan.

Allah Ta’ala, berfirman :

“Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan” (Al-Baqarah : 286)
Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.
  • Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja. Wallahu ‘alam


  • Bagi Siapa Fidyah Itu ….. ?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin.

Allah Ta’ala, Berfirman :

“Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya.
  • Penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma
Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan),

“Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha’, kemudian dimansukh oleh ayat. “Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Al-Baqarah : 185)

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Diriwayatkan Oleh Ibnu Jarud, Al-Baihaqi, dan Abu Dawud)

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan !
  • Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah : 185) Mansukh
Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih Radhiyallahu a’alaihim menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya.
Adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna’ (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut.
Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar.
Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan perngetian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar’i terdahulu dengan dalil syar’i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.
  • Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu:
“Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat : “Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Al-Baqarah : 185)
Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan …? Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur’an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh:

“Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”.

Dan yang menambah yang lebih memperjelas lagi adalah hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu:

“Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura.

Kemudian Allah mewajibkan puasa, maka turunlah ayat :

“Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa …”

Kemudian Allah menurunkan ayat :

“Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur’an …”
Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya …” (HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Ahmad)

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan. Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya:
itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an)
  • Hadits Ibnu Abbas Dan Muadz Hanya Ijtihad
Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts marfu’ yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur’an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.
  1. Dua hadits ini memiliki hukum marfu’ menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur’an, mengabarkan ayat Al-Qur’an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits musnad. (Tadribur Rawi/Suyuti, dan Ulumul Hadits/Ibnu Shalah)
  2. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini …? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh. Dari Malik dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin” (Diriwayatkan Oleh Baihaqi dalam As-Sunnah, dan Imam Syafi’i)
Daruquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata :

“Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha”.

Dari jalan lain beliau meriwayatkan :

“Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha” (sanadnya jayyid)

Dari jalan yang ketiga Di Sebutkan :

“Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin”
Tidak ada Shahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. (Di Shahihkan Oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Muhgni)
  • Wanita Hamil Dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna: “Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui” yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi “Kalau mengkhwatirkan diri dan anaknya” dia bayar fidyah tidak mengqadha.
  • Musafir Gugur Puasanya Dan Wajib Mengqadha’
Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha’, perkataan ini tertolak karena Al-Qur’an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir.

“Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (Al-Baqarah: 184)

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya

“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)
Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.



Bagi kaum Muslimin yang melaksanakan Ibadah Puasa maka disyariatkan untuk melaksanakan Shalat Tarawih :
  • Pensyari’atannya
Shalat tarawih disyari’atkan secara berjama’ah.

Dalilnya adalkah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang. Ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan shalat. Ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda. “Artinya : Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya” …… Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama’ah”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari’at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama’ah disyari’atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya ‘illat itu berputar bersama ma’lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy beliau berkata :

“Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok. Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama’ah, maka Umar berkata : “Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam” (HR. Bukhari)
  • Jumlah Raka’atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at tanpa witir :

Dalilnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha :

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” (HR. Bukhari, Muslim)

Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan :

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir.” (HR. Ibnu Hibban, Thabrani)

Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata:

“Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at”. Ia berkata: “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar.”
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua puluh raka’at”
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughit, Muhashinul Istilah, Al-Kifayah.
Kalaulah sendainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.

Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid:

“Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah. Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah. Sedangkan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). (Lihat Tadribur Rawi)
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hapalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyatannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut:
  1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
  2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum. (Al-Mushanaf)
  3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun. (Mizanul I’tidal)
  4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini. (Mizanul I’tidal)
  5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf. (Mizanul I’tidal)
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif. (Tahdzibut Tahdzib)
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha’ dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah. (lihatlah Al-Kasyfus Sharih ‘an Aghlathis Shabun fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta’liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid)



Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata :

“Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala. Sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya. Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat nanti. Dan disyariatkannya i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.” (Kitab Zaadul Ma’ad)
  • Makna I’tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘Akif. (Lisanul Arab, dan Al-Mishbahul MUnir)
  • Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal. (HR. Bukhari dan Muslim)

Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram’. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu”. Maka ia (Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun beritikaf pada malam harinya. (HR. Bukhari Dan Muslim)

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari)

Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Syarat-Syarat I’tikaf
  1. Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala.
“Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu, sedangkan kamu beritikaf di dalam masjid” (Al-Baqarah : 187)
  1. Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja). Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan. (Diriwayatkan OLeh Abdur Razak dalam Mushanaf)
  • Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan Selama I’tikaf
  1. Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.
“Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  1. Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid, berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan” (Diriwayatkan Oleh Ahmad Sanadnya Shahih)
  1. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah Radhiyallahu ‘anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf (Shahih Bukhari) dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . (Shahih Muslim)
  2. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika i’tikaf dihamparkan untuk kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At-Taubah. (Dikeluarkan Oleh Ibnu Majah, dan Al-Baihaqi)
  • I’tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid
  1. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha berkata.
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tatkala beliau sedang) i’tikaf [pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu].
Kemudian beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda : “Tenanglah, ini adalah Shafiyah binti Huyaiy.” Kemudian keduanya berkata : ‘Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah”. Beliaupun bersabda : “Sesungguhnya syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu.” (Dikeluarkan Oleh BUkhari Dan MUslim)
  1. Seorang wanita boleh i’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau i’tikaf setelah itu”

Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah :

“Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita i’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah, Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”



Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur’an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah. Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
  • Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.

“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar.” (Al-Qadar : 1-5)

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Ad-Dukhan : 3-6)
  • Waktunya Pelaksanaannya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21, 23, 25, 27, 29 dan sepuluh akhir malam bulan Ramadhan.

Imam Syafi’i berkata :

“Menurut pemahamanku. wallahu ‘alam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam ini?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut”. (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah)

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda,
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan”
(HR. Bukhari Muslim)

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya”
(HR. Bukhari)

Ini menafsirkan sabdanya

“Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir”
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat.

Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)”. (HR. Bukhari)

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
 
Kesimpulannya

Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu ‘alam
  • Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar …?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, “Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah :
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’fu’annii”

“Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku”
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, dia berkata :

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga Dari Aisyah, dia berkata :
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” (HR. Muslim)
  • Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari ‘Ubay Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi”
(HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Lalu beliau bersabda :
“Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah” (HR. Muslim)
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan”. (Diriwayatkan Oleh Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, Al-Bazzar dan Sanadnya Hasan)



Setelahnya kita melaksanakan Ibadah Puasa dibulan Ramadhan, maka kita diwajibkan untuk mengeluarkan Zakat Fithri.
  • Hukumnya
Zakat Fithri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Ia berkata :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia]” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)
Sebagian Ahul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh.

Oleh Hadits Qais bin Sa’ad bin Ubadah, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkan (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkan (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakannya (mengeluarkan zakat fithri)”

Al-Hafidz Rahimahullah Menjawab Sangkaan Tersebut :
“Bahwa pada sanadnya ada seorang rawi yang tidak dikenal, dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh (dihapusnya) hadits Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain”

Imam Al-Kahthabiy Rahimahullah berkata :
“Ini tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhnya hukum sebelumnya, kedudukan zakat harta (sebagaimana) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan dengan riqab (orang-perorang).”
  • Siapa Yang Wajib Mengeluarkan Zakat …..?
Zakat fithri atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun hamba.

Dalilnya Adalah Hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagian ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir karena hadits  

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
“Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithri” (HR. Muslim)
Hadits ini umum sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu hadits umum. Yang lain berkata, “Tidak wajib atas orang yang puasa karena hadits 

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi) makanan bagi orang miskin”

Imam Al-Khathabiy menegaskan:
“Zakat fithri wajib atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari dia, jika illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa butuh akan hal itu, jika berserikat dalam ‘illat berserikat pula dalam hukum” (Ma’alimul Sunnah)

Al-Hafidz Menjawab :
“Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari.”
Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.
  • Macam Zakat Fithri
Zakat dikeluarkan berupa satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu, satu gantang anggur kering atau salt,

Dalilnya Adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu :
“Kami mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu kering, satu gantang anggur kering”
(HR. Bukhari, Muslim)

Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallalhu ‘Anhuma :
“Rasulullah mewajibkan satu gantang gandum, satu gantang korma dan satu gantang salt”
(Dikeluarkan Oleh Ibnu Khuzaimah)

Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Said Al-Khudri ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang paling kuat (yang membuat hati ini tenang) lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan hadits

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan satu gantang makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, kau mengira beliau berkata, “Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima, barangsiapa yang menerima berupa adonan diterima.”
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Zakat Fithri satu gantang makanan, barangsiapa yang membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata : “Yang membawa adonan diterima.”
(Dikeluarkan Oleh Ibnu Khuzaimah dengan Sanad yang Hasan)

Adapun hadits-hadits yang menafikan adanya hinthah (gandum) atau bahwasanya Muawiyah Radhiyallahu ‘anhua berpendapat untuk mengeluarkan dua mud dari samara (gandum) Syam, dan bahwa satu mud hinthah sebanding, ini dimungkinkan karena jarangnya dan banyaknya jenis lain, atau karena jenis-jenis hinthah itu melebihi yang ada di sini. Ini dikuatkan oleh perkataan Abu Sa’id : “Dulu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu yang dikeringkan dan korma.”
Yang membantah seluruh dalil orang yang menyelisihi kita adalah satu pembahasan yang akan datang ketika menjelaskan takaran zakat fithri, menurut hadits-hadits shahih yang menegaskan adanya hinthah bahwa dua mud hinthah sama dengan satu gantang anggur, agar kaum muslimin yang mendudukan sahabat sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa pendapat Mu’awiyah bukanlah ijtihad hasil pikiran sendiri, tetapi berdasarkan hadist marfu’ sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  • Ukuran Zakat Fithri
Seorang muslim diperbolehkan zakat fithri sesuai dengan jenis yang disebutkan tadi, mereka ikhtilaf tentang hinthah, ada yang mengatakan setengah gantang ini yang rajih, dan yang paling shahih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

“Tunaikanlah satu gantang gandum atau korma, untuk dua orang satu gantang dari gandum atas orang merdeka, hamba, anak kecil atau besar” (Dikeluarkan Oleh Ahmad)
Gantang yang teranggap adalah gantang-nya penduduk Madinah.

Berdasarkan Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma :
Timbangan yang teranggap adalah timbangannya Ahlu Mekah, dan kiloan yang teranggap adalah kiloan-nya orang Madinah” (Riwayat Abu Dawud)
  • Siapakah Yang Harus Dibayar Zakatnya …..?
Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang dibawah tanggungannya, baik anak kecil ataupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak.

Berdasarkan Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma:
“Kami diperintah oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengeluarkan) shadaqah fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan hamba dari orang-orang yang membekalinya” (Dikeluarkan Oleh Daruqutni, Baihaki)
  • Kemana Disalurkannya …..?
Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin.

Berdasarkan Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa serta murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Ma’ad .
Sebagian Ahlul ilmi berpedapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membantahnya pada kitab yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah ia, karena hal tersebut sangat penting. Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak, -pent).

Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mewakilkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:
“Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan” (Dikeluarkan Oleh Bukhari)
Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anuma mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintah, -pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum Idul fithri, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan :
“Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu gantang?” Berkata Ayyub : “Apabila petugas telah duduk (bertugas)”. Aku katakan : ‘Kapankah petugas itu mulai bertugas?” Beliau menjawab : “Satu hari atau dua hari sebelum Idul Fithri”.
  • Waktu Penunaian Zakat
Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju shalat ‘Id[3] dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya, kecuali satu atau dua hari (sebelum Id) berdasarkan riwayat perbuatan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berdasarkan kaidah rawi hadits diketahui dengan makna riwayat dan apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah.

Berdasarkan Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“… Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan suatu shadaqah dari beberapa shadaqah”
  • Hikmah Zakat
Allah Ta’ala mewajibkan zakat sebagai penscucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu.