Selasa, 07 Agustus 2012

SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN ( Bagian III)


“SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN”
Diringkas dari kitab : ” Sifat Saum Nabi fi Ramadhan “
(Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali & Syaikh Ali Hasan)

(Sumber : Tapak Suci Pontang)


 


Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla Sya’nuhu, yang dinamakan orang puasa adalah orang yang mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa, mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor dan keji, mempuasakan lisannya dari perutnya dari makan dan minum dan mempuasakan kemaluannya dari jima’. Jika bicara, dia berbicara dengan perkataan yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih. Inilah puasa yang disyari’atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib. Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah derajat Ketakwaan


Allah Ta’ala Menyebutkan dalam Firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah : 183)
Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Bersabda :

“Puasa adalah perisai”
Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair:

“Aku mengenal kejelakan bukan untuk berbuat jelek tapi untuk menjauhinya, Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akan terjatuh padanya”

YANG WAJIB DIJAUHI OLEH ORANG YANG SEDANG BERPUASA

Diantara hal yang wajib dijauhi oleh orang yang sedang berpuasa adalah :
  • Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya” ( HR. Bukhari)
  • Perbuatan Sia-Sia Dan Kotor
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah: Aku sedang puasa, aku sedang puasa” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim)

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)” (HR. Ibnu Majah, Darimi, dan Ahmad)

Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya. Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah hingga tidak membatalkannya.



Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya. Perkara-perkara tersebut adalah.
  • Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah Azza Sya’nuhu berfirman :

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (Al-Baqarah : 187)

Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Jika lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari dab Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena salah atau lupa dan karena dipaksa” (HR. Thahawi, Al-Hakim, Ibnu Hazm, dan Ad-Darukutni)
  • Muntah Dengan Sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa maka tidak membatalkan puasanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha’ puasanya” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
  • Haidh Dan Nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan mengqadha’ kalau puasa tidak mencukupinya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Bukankah jika haid dia tidak shalat dan puasa ? Kami katakan : “Ya”, Beliau berkata : … Itulah (bukti) kurang agamanya” (HR. Muslim)

Dalam Riwayat Yang Lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya”

Dalam Riwayat Mu’adzah, Disebutkan :

“Aku pernah bertanya kepada Aisyah : ‘ Mengapa orang haid mengqadha’ puasa tetapi tidak mengqadha shalat?’ Aisyah berkata : ‘Apakah engkau wanita Haruri, Aku menjawab : ‘Aku bukan Haruri, tapi hanya (sekedar) bertanya’. Aisyah berkata : ‘Kamipun haidh ketika puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Suntikan Yang Mengandung Makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa. Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz dan salayin, demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalalkan puasa.
  • Jima’ (Menggauli Istri)
Imam Syaukani, berkata:

“Jima’ dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima’ tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja.” (Dararul Mudhiyah)

 Ibnul Qayyim, berkata :

“Al-Qur’an menunjukkan bahwa jima’ membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini” (Kitab Zaadul Ma’ad)

Dalilnya Adalah Firman Allah Ta’ala :

“Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian” (Al-Baqarah : 187)

Diizinkannya bergaul (dengan istri) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima’. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima’ harus mengqadha’ dan membayar kafarat,

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, berkata :

“Pernah datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia berkata, ‘Ya Rasulullah binasalah aku!’ Rasulullah bertanya, ‘Apa yang membuatmu binasa?’ Orang itu menjawab, ‘Aku menjimai istriku di bulan Ramadhan’. Rasulullah bersabda, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ Orang itu menjawb, ‘Tidak’.
Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak’ Rasulullah bersabda, ‘Duduklah’. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah korma kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Rasulullah bersabda, ‘Bersedekahlah’, Orang itu berkata, ‘Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah, berilah makan keluargamu” (HR. BUkhari, Muslim, Baghawi, Abu Dawud, Ad-Darimi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Jarud, Syafi’i dan Abdur Razak)


Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita, bahwasanya mengqdha’ puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat
  • Qadha’ Tidak Wajib Untuk Segera Dilakukan
Adapun Dalilnya adalah :

Dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, berkata :

“Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha’nya kecuali di bulan Sya’ban” (HR. BUkhari dan Muslim)

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani :

“Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha’ Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak.”

Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha’ lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur’an.

“Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian” (Ali Imran : 133)

Dalam Ayat Yang Lain Disebutkan :

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya” (Al-Mu’minuun : 61)
  • Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Mengqadha’ Karena Ingin Menyamakan Dengan Sifat Penunaiannya
Hal Ini Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS.
Al-Baqarah : 185)

Dan Ibnu Abbas, berkata:

“Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)” (HR. Bukhari)

Abu Hurairah, berkata:

 “Diselang-selingi kalau mau” (Lihat Irwaul Ghalil)
 
Peringatan

Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu’ dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha’, namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal Rahimahullah.
Abu Dawud berkata, dalam Al-Masail-nya hal. 95 : “Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha’ Ramadhan” Beliau menjawab : “Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut”. Wallahu ‘alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
  • Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apa Lagi Orang Lain Tidak Bisa Mengqadha’nya
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi. Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa, harus dipuasakan oleh walinya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya” (HR. Bukhari MUslim)

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata:

“Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi’iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm .
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa’il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud, dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : “Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar”. Abu Dawud berkata, “Puasa Ramadhan ?”. Beliau menjawab, “Memberi makan”.
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama.
Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat ‘Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah,
“Apakah aku harus mengqadha’ puasanya ?” Aisyah menjawab : “Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim.” (Diriwayatkan Oleh Thahawi dan Ibnu Hazm)
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah

Hibrul Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, berkata:

“Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha’, kalau punya hutang nadzar diqadha’ oleh walinya.” (Diriwayatkan Oleh Abu Dawud dan Ibnu Hazm)

Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma adalah periwayatan hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nadzar.

Sa’ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?” Beliau bersabda : “Qadha’lah untuknya.” (HR. Bukhari dan Msulim)
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari’at sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud.
(Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha’ oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.

Al-Hasan, berkata :

“Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan.” (Diriwayatkan Oleh Bukhari)

Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.


  • Kafarat Bagi Laki-Laki Yang Menjima’i Isterinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima’i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha’ puasanya dan membayar kafarat yaitu: membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu makan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin. Ada yang mengatakan: Kafarat jima’ itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasa karena jima’. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
  • Gugurnya Kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari’at kecuali kalau ada kemampuan.

Allah Ta’ala, berfirman :

“Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan” (Al-Baqarah : 286)
Dan dengan dalil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.
  • Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja. Wallahu ‘alam


  • Bagi Siapa Fidyah Itu ….. ?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin.

Allah Ta’ala, Berfirman :

“Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)

Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya.
  • Penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma
Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan),

“Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha’, kemudian dimansukh oleh ayat. “Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Al-Baqarah : 185)

Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Diriwayatkan Oleh Ibnu Jarud, Al-Baihaqi, dan Abu Dawud)

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan !
  • Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah : 185) Mansukh
Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih Radhiyallahu a’alaihim menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya.
Adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna’ (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut.
Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar.
Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan perngetian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar’i terdahulu dengan dalil syar’i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.
  • Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu:
“Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat : “Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Al-Baqarah : 185)
Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan …? Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur’an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh:

“Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”.

Dan yang menambah yang lebih memperjelas lagi adalah hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu:

“Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura.

Kemudian Allah mewajibkan puasa, maka turunlah ayat :

“Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa …”

Kemudian Allah menurunkan ayat :

“Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur’an …”
Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya …” (HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Ahmad)

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan. Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya:
itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an)
  • Hadits Ibnu Abbas Dan Muadz Hanya Ijtihad
Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts marfu’ yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur’an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.
  1. Dua hadits ini memiliki hukum marfu’ menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur’an, mengabarkan ayat Al-Qur’an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits musnad. (Tadribur Rawi/Suyuti, dan Ulumul Hadits/Ibnu Shalah)
  2. Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini …? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh. Dari Malik dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin” (Diriwayatkan Oleh Baihaqi dalam As-Sunnah, dan Imam Syafi’i)
Daruquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata :

“Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha”.

Dari jalan lain beliau meriwayatkan :

“Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha” (sanadnya jayyid)

Dari jalan yang ketiga Di Sebutkan :

“Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin”
Tidak ada Shahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma. (Di Shahihkan Oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Muhgni)
  • Wanita Hamil Dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna: “Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui” yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi “Kalau mengkhwatirkan diri dan anaknya” dia bayar fidyah tidak mengqadha.
  • Musafir Gugur Puasanya Dan Wajib Mengqadha’
Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha’, perkataan ini tertolak karena Al-Qur’an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir.

“Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (Al-Baqarah: 184)

Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya

“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah : 184)
Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.



Bagi kaum Muslimin yang melaksanakan Ibadah Puasa maka disyariatkan untuk melaksanakan Shalat Tarawih :
  • Pensyari’atannya
Shalat tarawih disyari’atkan secara berjama’ah.

Dalilnya adalkah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang. Ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan shalat. Ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda. “Artinya : Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya” …… Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama’ah”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari’at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama’ah disyari’atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya ‘illat itu berputar bersama ma’lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy beliau berkata :

“Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok. Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama’ah, maka Umar berkata : “Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam” (HR. Bukhari)
  • Jumlah Raka’atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at tanpa witir :

Dalilnya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘Anha :

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” (HR. Bukhari, Muslim)

Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan :

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir.” (HR. Ibnu Hibban, Thabrani)

Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata:

“Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at”. Ia berkata: “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar.”
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua puluh raka’at”
Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughit, Muhashinul Istilah, Al-Kifayah.
Kalaulah sendainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.

Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid:

“Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah. Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah. Sedangkan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). (Lihat Tadribur Rawi)
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hapalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyatannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut:
  1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
  2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum. (Al-Mushanaf)
  3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun. (Mizanul I’tidal)
  4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini. (Mizanul I’tidal)
  5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf. (Mizanul I’tidal)
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif. (Tahdzibut Tahdzib)
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha’ dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah. (lihatlah Al-Kasyfus Sharih ‘an Aghlathis Shabun fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta’liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid)



Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata :

“Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala. Sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya. Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat nanti. Dan disyariatkannya i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.” (Kitab Zaadul Ma’ad)
  • Makna I’tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘Akif. (Lisanul Arab, dan Al-Mishbahul MUnir)
  • Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal. (HR. Bukhari dan Muslim)

Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram’. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu”. Maka ia (Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun beritikaf pada malam harinya. (HR. Bukhari Dan Muslim)

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari)

Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Syarat-Syarat I’tikaf
  1. Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala.
“Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu, sedangkan kamu beritikaf di dalam masjid” (Al-Baqarah : 187)
  1. Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja). Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan. (Diriwayatkan OLeh Abdur Razak dalam Mushanaf)
  • Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan Selama I’tikaf
  1. Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.
“Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  1. Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid, berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan” (Diriwayatkan Oleh Ahmad Sanadnya Shahih)
  1. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah Radhiyallahu ‘anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf (Shahih Bukhari) dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . (Shahih Muslim)
  2. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika i’tikaf dihamparkan untuk kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At-Taubah. (Dikeluarkan Oleh Ibnu Majah, dan Al-Baihaqi)
  • I’tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid
  1. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha berkata.
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tatkala beliau sedang) i’tikaf [pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu].
Kemudian beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda : “Tenanglah, ini adalah Shafiyah binti Huyaiy.” Kemudian keduanya berkata : ‘Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah”. Beliaupun bersabda : “Sesungguhnya syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu.” (Dikeluarkan Oleh BUkhari Dan MUslim)
  1. Seorang wanita boleh i’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau i’tikaf setelah itu”

Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah :

“Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita i’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah, Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”



Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur’an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah. Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
  • Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.

“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar.” (Al-Qadar : 1-5)

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Ad-Dukhan : 3-6)
  • Waktunya Pelaksanaannya
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21, 23, 25, 27, 29 dan sepuluh akhir malam bulan Ramadhan.

Imam Syafi’i berkata :

“Menurut pemahamanku. wallahu ‘alam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : “Apakah kami mencarinya di malam ini?”, beliau menjawab : “Carilah di malam tersebut”. (Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah)

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda,
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan”
(HR. Bukhari Muslim)

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya”
(HR. Bukhari)

Ini menafsirkan sabdanya

“Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir”
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat.

Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)”. (HR. Bukhari)

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
 
Kesimpulannya

Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu ‘alam
  • Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar …?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, (dia) berkata : “Aku bertanya, “Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah :
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’fu’annii”

“Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku”
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, dia berkata :

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga Dari Aisyah, dia berkata :
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” (HR. Muslim)
  • Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari ‘Ubay Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi”
(HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Lalu beliau bersabda :
“Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah” (HR. Muslim)
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

“Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan”. (Diriwayatkan Oleh Thayalisi, Ibnu Khuzaimah, Al-Bazzar dan Sanadnya Hasan)



Setelahnya kita melaksanakan Ibadah Puasa dibulan Ramadhan, maka kita diwajibkan untuk mengeluarkan Zakat Fithri.
  • Hukumnya
Zakat Fithri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Ia berkata :

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri [pada bulan Ramadhan kepada manusia]” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)
Sebagian Ahul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh.

Oleh Hadits Qais bin Sa’ad bin Ubadah, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkan (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkan (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakannya (mengeluarkan zakat fithri)”

Al-Hafidz Rahimahullah Menjawab Sangkaan Tersebut :
“Bahwa pada sanadnya ada seorang rawi yang tidak dikenal, dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh (dihapusnya) hadits Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain”

Imam Al-Kahthabiy Rahimahullah berkata :
“Ini tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhnya hukum sebelumnya, kedudukan zakat harta (sebagaimana) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan dengan riqab (orang-perorang).”
  • Siapa Yang Wajib Mengeluarkan Zakat …..?
Zakat fithri atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun hamba.

Dalilnya Adalah Hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu gantang kurma, atau satu gantang gandum atas hamba dan orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Sebagian ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir karena hadits  

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
“Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithri” (HR. Muslim)
Hadits ini umum sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu hadits umum. Yang lain berkata, “Tidak wajib atas orang yang puasa karena hadits 

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri, pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi) makanan bagi orang miskin”

Imam Al-Khathabiy menegaskan:
“Zakat fithri wajib atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari dia, jika illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa butuh akan hal itu, jika berserikat dalam ‘illat berserikat pula dalam hukum” (Ma’alimul Sunnah)

Al-Hafidz Menjawab :
“Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari.”
Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.
  • Macam Zakat Fithri
Zakat dikeluarkan berupa satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu, satu gantang anggur kering atau salt,

Dalilnya Adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu :
“Kami mengeluarkan zakat (pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) satu gantang makanan, satu gantang gandum, satu gantang korma, satu gantang susu kering, satu gantang anggur kering”
(HR. Bukhari, Muslim)

Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallalhu ‘Anhuma :
“Rasulullah mewajibkan satu gantang gandum, satu gantang korma dan satu gantang salt”
(Dikeluarkan Oleh Ibnu Khuzaimah)

Telah ikhtilaf dalam tafsir lafadz makanan dalam hadits Abu Said Al-Khudri ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang paling kuat (yang membuat hati ini tenang) lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan hadits

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan satu gantang makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, kau mengira beliau berkata, “Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima, barangsiapa yang menerima berupa adonan diterima.”
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Zakat Fithri satu gantang makanan, barangsiapa yang membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata : “Yang membawa adonan diterima.”
(Dikeluarkan Oleh Ibnu Khuzaimah dengan Sanad yang Hasan)

Adapun hadits-hadits yang menafikan adanya hinthah (gandum) atau bahwasanya Muawiyah Radhiyallahu ‘anhua berpendapat untuk mengeluarkan dua mud dari samara (gandum) Syam, dan bahwa satu mud hinthah sebanding, ini dimungkinkan karena jarangnya dan banyaknya jenis lain, atau karena jenis-jenis hinthah itu melebihi yang ada di sini. Ini dikuatkan oleh perkataan Abu Sa’id : “Dulu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu yang dikeringkan dan korma.”
Yang membantah seluruh dalil orang yang menyelisihi kita adalah satu pembahasan yang akan datang ketika menjelaskan takaran zakat fithri, menurut hadits-hadits shahih yang menegaskan adanya hinthah bahwa dua mud hinthah sama dengan satu gantang anggur, agar kaum muslimin yang mendudukan sahabat sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa pendapat Mu’awiyah bukanlah ijtihad hasil pikiran sendiri, tetapi berdasarkan hadist marfu’ sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
  • Ukuran Zakat Fithri
Seorang muslim diperbolehkan zakat fithri sesuai dengan jenis yang disebutkan tadi, mereka ikhtilaf tentang hinthah, ada yang mengatakan setengah gantang ini yang rajih, dan yang paling shahih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

“Tunaikanlah satu gantang gandum atau korma, untuk dua orang satu gantang dari gandum atas orang merdeka, hamba, anak kecil atau besar” (Dikeluarkan Oleh Ahmad)
Gantang yang teranggap adalah gantang-nya penduduk Madinah.

Berdasarkan Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma :
Timbangan yang teranggap adalah timbangannya Ahlu Mekah, dan kiloan yang teranggap adalah kiloan-nya orang Madinah” (Riwayat Abu Dawud)
  • Siapakah Yang Harus Dibayar Zakatnya …..?
Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang dibawah tanggungannya, baik anak kecil ataupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak.

Berdasarkan Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma:
“Kami diperintah oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (mengeluarkan) shadaqah fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan hamba dari orang-orang yang membekalinya” (Dikeluarkan Oleh Daruqutni, Baihaki)
  • Kemana Disalurkannya …..?
Zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin.

Berdasarkan Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa serta murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Ma’ad .
Sebagian Ahlul ilmi berpedapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membantahnya pada kitab yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah ia, karena hal tersebut sangat penting. Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak, -pent).

Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mewakilkan kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:
“Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan” (Dikeluarkan Oleh Bukhari)
Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anuma mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintah, -pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum Idul fithri, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan :
“Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu gantang?” Berkata Ayyub : “Apabila petugas telah duduk (bertugas)”. Aku katakan : ‘Kapankah petugas itu mulai bertugas?” Beliau menjawab : “Satu hari atau dua hari sebelum Idul Fithri”.
  • Waktu Penunaian Zakat
Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju shalat ‘Id[3] dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya, kecuali satu atau dua hari (sebelum Id) berdasarkan riwayat perbuatan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma berdasarkan kaidah rawi hadits diketahui dengan makna riwayat dan apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah.

Berdasarkan Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma :
“… Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan suatu shadaqah dari beberapa shadaqah”
  • Hikmah Zakat
Allah Ta’ala mewajibkan zakat sebagai penscucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu.

SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN (Bagian II)

“SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN”
Diringkas dari kitab : ” Sifat Saum Nabi fi Ramadhan “
(Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali & Syaikh Ali Hasan)

(Sumber : Tapak Suci Pontang

 


Puasa di bulan ramadhan sangat dianjurkan sekali, karena didalamnya terkandung berbagai keutamaan-keutamaan yang sangat besar diantaranya :
  • Diampuninya Dosa-Dosa
Dari Abu Hurairah, Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Barang siapa puasa Ramadhan karena Iman dan mengharapkan pahala. diampuni dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari Muslim)

  • Allah Ta’ala Akan Mengabulkan Segala Do’a
“Sesungguhnya Allah memiliki beberapa hamba yang dibebaskan dari neraka pada setiap hari dan bulan ramadhan, dan sesungguhnya bagi setiap muslim terdapat do’a yang dia berdoa dengannya lalu dikabulkan baginya”. (HR. Bazzar dan Ahmad)
  • Orang Yang Berpuasa Termasuk Dalam Golongan Sidiqqin
Dari Amru bin Murrah al-juhaini ia berkata :

“Datang kepada Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, lalu ia bertanya … ??? Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq untuk disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, saya mengerjakan solat lima waktu, saya menunaikan zakat, dan saya berpuasa pada bulan ramadhan dan solat padanya, maka termasuk kelompok manakah aku ini … ??? Beliaupun bersabda : termasuk dalam golongan sidiqqin dan orang-orang yang mati syahid”. (HR. Ibnu Hibban dan sanadnya Shahih)


Dari Abu Umamah Al-Bahili, Ia berkata :

“Saya mendengar Rasullullah bersabda : Ketika aku sedang tidur, datang dua orang laki-laki lalu mereka memegang lenganku kemudian keduanya membawaku ke gunung yang sulit dilalui, lalu keduanya berkata … Naiklah … maka aku katakan : aku tidak mampu untuk menaikinya. lalu akupun menaikinya hingga aku sampai puncak gunung itu tiba-tiba terdengar suara keras. aku bertanya … suara apakah ini … ? mereka menjawab : ini adalah lolongan (teriakan) penghuni neraka, lalu aku dibawa tiba-tiba aku mendapati suatu kaum terbelenggu urat-urat diatas tumit mereka, robek rahang-rahang mereka, mengucur darah dari rahang-rahang mereka. aku bertanya siapakah mereka itu … ? ia menjawab : mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum selesai puasa mereka (mereka adalah orang-orang yang tidak berpuasa)”. (HR. Nasai dan Ibnu Hibban)


Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin yang akan melaksanakan Ibadah puasa Ramadhan, diantaranya :
  • Menghgitung Bulan Sya’ban
Sepatutnya bagi umat islam untuk menghitung jumlah hari yang terdapat pada bulan sya’ban untuk mempersiapkan diri menghadapi bulan ramadhan. karena bulan (dalam perhitungan tahun qamariah) ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari, maka hendaknya umat islam berpuasa ketika melihat hilal, dan jika hilal tidak dapat dilihat karena tertutup awan maka hendaklah menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari, dan bulan-bulan hijriyah itu tidak lebih dari 30 hari.
  • Barangsiapa Berpuasa Pada Hari Yang Diragukan Berarti Ia Telah Mendurhakai Rasulullah
Tidaklah patut bagi seorang muslim untuk mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari lantaran karena berhati-hati. kecuali jika hal tersebut bertepatan dengan puasa yang biasa dia kerjakan.

Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Janganlah mendahului puasa Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya), kecuali seseorang yang (terbiasa) berpuasa dengan suatu jenis puasa, maka hendaklah ia berpuasa”. (HR. Muslim)

Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan maka ia telah mendurhakai Rasulullah”. (Atsar riwayat Bukhari tanpa sanad, dan sanadnya dijelaskan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majjah, dan An-Nasai dari jalan Amru bin Qais Al-Malai dari Abu Ishaq dari silah bin zufar dari Ammar)
  • Jika Seorang Saksi Telah Bersaksi (Melihat Hilal) Maka Berpuasalah Dan Berbukalah (Lebaran)
Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya, dan tunaikanlah ibadah karenanya, maka jika awan menutupi hilal sempurnakanlah bilangannya menjadi 30 hari, dan jika dua orang saksi melihatnya berpuasalah dan berbukalah”. (HR. Nasai, Ahmad)

Dari Ibnu Umar ia Berkata :

“Manusia saling melihat hilal, lalu aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Nabi pun berpuasa dan Beliau memerintahkan manusia untuk berpuasa”. (Dikeluarkan oleh Abu Daud, Ad Darimi)


Setiap amal perbuatan itu tergantung kepada niat yang terkandung didalamnya, hal-hal yang harus diperhatikan :
  • Wajibnya Berniat Pada Malam Hari Ramadhan
Jika telah pasti bulan ramadhan datang, dengan terlihat oleh mata (hilal), atau melalui persaksian, atau dengan menyempurnakan belan sya’ban menjadi 30 hari maka wajib bagi setiap muslim yang baligh dan berakal untuk berniat pada malam harinya.

Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Barangsiapa tidak berniat berpuasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya”. (dikeluarkan ole Nasai dan At-Tirmidzi)

Dan yang harus diperhatikan bahwa niat itu adanya didalam hati, dan mengucapkan (melafadzkannya) adalah bid’ah yang sesat sekalipun dipandang baik oleh manusia. dan menetapkan niat dimalam hari adalah untuk puasa-puasa wajib saja.
  • Pembebanan Syari’at Itu Tergantung Pada Kemampuan
Barangsiapa mendapati bulan ramadhan namun ia tidak mengetahui, lalu ia makan dan minum kemudian ia mengetahui, maka hendaklah ia menahan diri dari makan dan minum lalu meneruskan puasanya, dan puasanya dianggap sah. dan menetapkan niat pada malam hari tidaklah menjadi syarat pada haknya karena ia tidak mampu. karena pembebanan itu tergantung pada kemampuan.

Dari Salamah bin Al-Aqwa ia Berkata :

“Rasulullah memerintahkan seorang leleki dari aslam agar mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang telah makan hendaknya tidak makan (berpuasa) pada sisa harinya, dan barangsiapa yang belum (sempat) makan hendaknya berpuasa karena sesungguhnya hari ini adalah hari Asy Syuura”.
Hadits ini menjelaskan bahwa dahulu kaum muslimin diwajibkan pada hari Asy Syuura, kemudian dihapuslah hukum wajibnya. sedangkan puasa ramadhan adalah puasa wajib dan hukumnya tidaklah berubah.


Pada awalnya, para sahabat Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam jika berpuasa dan hadirwaktu untuk berbuka maka mereka makan serta menjima’i istri mereka selama belum tidur. namun jika diantara mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka), maka mereka tidak boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara diatas. Kemudian Allah Ta’ala dengan keluasan Rahmat-Nya memberikan Rukhsah (keringanan), hingga orang-orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang-orang yang tidak tidur.

Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah Hadits:

“Dahulu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata: “Apakah engkau punya makanan ?” Isterinya menjawab : “Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu” Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata “Khaibah untukmu.” … Ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga turunlah ayat ini. “Artinya : Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima’) dengan isteri-isterimu” Dan turun pula firman Allah. “Artinya : Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” (HR. Bukhari)

Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata:

“Kami mendengar dan kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali”
(yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa : dimulainya puasa dan waktu berakhirnya. (Puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.
  • Benang Putih Dan Benang Hitam
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan putih kemudian mereka letakkan di bawah bantal-bantal mereka, atau merka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat membedakan antara yan putih dari yang hitam).

Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu’anhu berkata :

Ketika turun ayat. “Artinya : Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” ….. Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Baliaupun bersabda. “Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

Ketika turun ayat. “Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam” ….. Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat: “(Karena) terbitnya fajar”, mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Setelah penjelasan Qur’ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.
  • Fajar Ada Dua
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua.
  1. Fajar Kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
  2. Fajar Shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Artinya : Fajar itu ada dua: Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut.”
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
  1. Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
  2. Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah Radhiyallahu “anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Artinya : Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang” (HR. Muslim)

Dari Thalq bin Ali, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merah membentang” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Ketahuilah -mudah-mudahan kita diberi taufiq untuk mentaati Allah Ta’ala bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang mulia.

“Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar”
Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima’. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Artinya : Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Jarir, Hakim dan Baihaqi)
Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 dan selain keduanya setelah hadits di atas.
“Artinya : Dahulu seorang muadzin melakukan adzan ketika terbit fajar

Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu, berkata :

“Artinya : Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata : Boleh aku meminumnya ya Rasulullah ?’ Rasulullah bersabda : “Ya ….. minumlah” (HR. Ibnu Jarir)
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih hati-hati adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata dalam Al-Fath :

“Termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa. Mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu-itu sangkaan mereka-mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar kejahatan pada mereka. Allahul musta’an”.

Syaikh Ali Hasan & Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilaly Mengatakan :

Bid’ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.
  • Menyempurnakan Puasa Hingga Malam
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.

Dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Artinya : Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam matahari, telah berbukalah orang yang puasa” (HR. Bukhari & Muslim)
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada. Termasuk petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang itu berkata : “Matahari telah terbenam”, beliaupun berbuka” (HR. Hakim)

Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.

Dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu Anhu :

Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan Ramadhan). Ketika terbenam matahari.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud : Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air”. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore”, dalam riwayat lain: matahari). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Turun, ambilkan air”. Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda : … Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni matahari”. Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain : berisyarat dengan tanganya), kemudian berkata : “Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa.” (HR. Bukhari & Muslim)
Abu Said Al-Khudri berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari. (HR. Bukhari secara mu’allaq)
  • Beberapa Peringatan Penting
Peringatan Pertama

Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau berpegangan dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka ….. Wallahu a’alam.

Peringatan Kedua

Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun!! Hingga mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar’i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib ….. ini dan pahamilah !!!



WAKTU PELAKSANAAN SAHUR

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, Berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Al-Baqarah : 183)

Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima’) setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya. Demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” (HR. Muslim)

KEUTAMAAN DALAM SAHUR
  • Makan Sahur Adalah Barokah
“Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama’ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur” (HR. Thabrani, Abu Nuaim dan Al-Haitsami)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran” (HR. As-Syiraziy, dan Al-Khatib)

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda,
“Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan” (HR. Nasai dan Ahmad)

Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa. Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ‘Radhiyallahu ‘anhuma,
“Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur”
  • Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo’a kepada Allah agar mema’afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur”
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma” (Abu Daud, Ibnu Hiban dan Baihaqi)
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air”
  • Mengakhirkan Waktu Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas Radhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit

“Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima’ selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya’nuhu mema’afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.
  • Hukumnya Melaksanakan Sahur
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya – dengan perintah yang sangat ditekankan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Bazzar)

Dan beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” (HR. Bukhari)

Dalam Riwayat Lain beliau bersabda :

“Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur” (HR. Ibnu Abi Syaibah & Ahmad)

Di Dalam Riwayat Lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air” (HR. Abu Ya’la)

Syaikh Ali Hasan & Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilaly, berkata :

Perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
  1. Perintahnya.
  2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab
  3. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas, Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139: “Ijma atas sunnahnya.” Wallahu ‘alam.


WAKTU PELAKSANAAN BERBUKA

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam” (Al-Baqarah : 187)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembasahan yang telah lalu) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda. Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di hadapanmu dapatlah engkau membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya, Radhiyallahu ‘anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan :

“Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur” (Kitab Mushanaf)
  • Menyegerakan Untuk Berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pargraf-paragraf yang akan datang.
  • Menyegerakan Buka Berarti Menghasilkan Kebaikan
Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan bebuka” (HR. Bukhari & Muslim)
  • Menyegerakan Berbuka Adalah Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama “berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang merubah sunnah”.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa).” (HR. Ibnu Hibban)
  • Menyegerakan Buka Berarti Menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin bertiup.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya” (HR. Abu Dawud & Ibnu Hibban)

Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali, mengatakan :

Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut.
PERTAMA

Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin atau mencari makan di Gedung Putih -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.

KEDUA

Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah” (Al-Baqarah : 208)
Atas dasar inilah, maka ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid’ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya; Kita diperintah untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh! kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.

KETIGA

Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyak mereka:

“Ini perkara-perkara kecil, furu’. khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai beraikan barisan kita.”
Perhatikan wahai kaum muslimin, da’i ke jalan Allah di atas basyirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam. Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu’, khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.
  • Berbuka Sebelum Shalat Maghrib
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat Maghrib karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para nabi.

Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, (ia berkata) :

“Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan kiri dalam shalat” (HR. Thabrani)
  • Berbuka Dengan Apa …?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berfirman :

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (At-Taubah : 128)

Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan. Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berittiba’.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu (ia berkata) :

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)
  • Yang Diucapkan Ketika Berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya engkau punya do’a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo’alah kepada Allah dalam keadaan engkau yakin akan dikabulkan, ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai. Berdo’alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do’a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda :

“Tiga do’a yang dikabulkan : do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang terdhalimi dan do’anya musafir” (HR. Uqaili dalam Ad-Dhu’afa’)

Do’a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahw Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do’anya orang yang didhalimi” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memeliki doa yang tidak akan ditolak” (HR. Ibnu Majjah, Hakim, Ibnu Sunni, dan Thayalisi)
Do’a yang paling afdhal adalah do’a ma’tsur dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa beliau jika berbuka mengucapkan,

“Dzahaba al-dhoma’u wabtali al-’uruuqu watsabbati al-ajru insya Allah” 
(”Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah”).
(HR. Abu Dawud, Baihaqi dan Al-Hakim)
  • Memberi Makan Orang Yang Puasa
Bersemangatlan wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bersabda :

“Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun. Orang yang diundang disunnahkan mendo’akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do’a-do’a dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo’akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian” (HR. Abi Syaibah, Ahmad, dan Nasai)
“Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan berilah minum orang yang memberiku minum” (HR. Muslim)

“Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan” (HR. Muslim)

Insya Allah Bersambung  ..........

SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN (Bagian I)

“SIFAT PUASA NABI DI BULAN RAMADHAN”
Diringkas Dari Kitab  : ” Sifat Saum Nabi Fii Ramadhan “
(Penulis  :  Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali & Syaikh Ali Hasan)

(Sumber : Tapak Suci Pontang)


 
 

Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman :
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, dan Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Al-Ahzab : 35)

Diantara Keutamaan Yang Terdapat Dalam Ibadah Puasa, Adalah :

  • Puasa Adalah Perisai
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam, Bersabda :
“Puasa adalah perisai, dengannya seorang hamba memelihara dirinya dari api neraka”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
  • Puasa Akan Memasukkan Pelakunya Ke dalam Surga
Dari Abu umamah, ia berkata. aku bertanya ….. “Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amalan yang dengannya aku dapat masuk kedalam Surga”, maka nabipun menjawab : “Hendaknya engkau berpuasa, tiada yang menyamainya”. (Hadits Shahih Riwayat Nasai,Ibnu Hibban, dan Hakim)
  • Orang Yang Berpuasa Mendapatkan pahala Tanpa Hisab
  • Bagi Orang-Orang yang Berpuasa Ada Dua Kegembiraan
  • Bau Mulut Orang Yang Berpuasa Lebih Harum Disisi Allah Dari Bau Kasturi
Dalil Dari Semua Itu Adalah :

“Dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda, Allah Berfirman : ‘Setiap amal mansia terdapat pahala yang terbatas kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya, dan puasa adalah perisai. pada hari puasa janganlah kalian mengatakan atau melakukan perbuatan keji dan berteriak, jika salahseorang diantara kalian mencelanya atau memeranginya maka hendaklah mengatakan “Sesungguhnya aku sedang berpuasa”, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya benar-benar bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau kasturi, bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan yang ia bergembira dengan keduanya, jika berbuka ia gembira dan jika bertemu Rabbnya ia bergembira”. (HR. Bukhari & Muslim).

Dan Dalam Riwayat Al-Bukhari Juga Disebutkan :
“Ia tinggalkan makanan dan minumannya serta syahwatnya lantaran Aku, puasa adalah untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya. dan kebaikan itu adalah sepuluh kali lipat semisalnya”.
  • Puasa Dan Al-Qur’an Akan Memberikan Syafaat Bagi Pelakunya
Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam, Bersabda :

“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada hari kiamat, puasa berkata : “Ya Allah, aku telah mencegah orang yang berpuasa dari makanan dan syahwat, maka berikanlah syafaatku kepadanya”. dan berkata bacaan Al-Qur’an : “Ya Allah, aku telah mencegahnya dari tidur pada malam hari, maka berikanlah syafaatku kepadanya”. Nabi bersabda : Keduanya akan memberikan syafaat”.     (HR Ahmad & Baihaqi).
  • Puasa Adalah Kaffaarah (Penghapus Dosa) 
“Dari Hudzaifah bin Yaman ia berkata, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda : “Fitnah laki-laki pada keluarganya, hartanya, anaknya, tetangganya, dihapuskan olehshalat, puasa dan shodakoh”. (HR. Bukhari & Muslim).
  • Allah Menyediakan Pintu Surga bernama Ar-Rayyan Bagi Orang-Orang Yang Berpuasa
“Dari Sahl dari Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya dalam surga terdapat sebuah pintu yang bernam Ar-Rayyan, dan orang yang berpuasa akan masuk melaluinya pada hari kiamat, dan selain mereka tidak akan melaluinya. dikatakan : Dimanakah orang yang berpuasa .. ? maka merekapun berdiri. dan selain mereka tidak akan memasukinya, dan barangsiapa yang telah masuk ia pasti minum dan barangsiapa yang minum maki ia tidak akan kehausan selamanya”. (HR. Bukhari & Muslim).



Diantara Keutamaan Yang Terdapat Di Bulan Ramadhan, Adalah :
  • Bulan Ramadhan Adalah Bulan Al-Qur’an
Allah Berfirman :

“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an. sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). karena itu barangsiapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu. maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Al-Baqarah : 185).
  • Bulan Ramadhan Adalah Bulan Dibelenggunya Syaitan
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Jika telah tiba bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dibelenggulah setan-setan”.       (HR. Bukhari & Musliam)
  • Bulan Ramadhan Adalah Bulan Seribu Bulan
Allah Berfirman :

“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu .. ? malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”. (QS Al-Qadr : 1-3).


Melaksanakan puasa dibulan Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat.

Allah Ta’ala Berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertaqwa”
  • Barangsiapa Yang Dengan Kerelaan Hati Mengerjakan Kebajikan Maka Itulah Yang Lebih Baik Baginya
Dari beberapa keutamaan bulan Ramadhan yang disebutkan diatas, Allah telah mewajibkan puasa Ramadhan atas kaum muslimin, dan oleh karena memutuskan jiwa dari syahwat adalah suatu perkara yang sangat berat. maka perintah Ibadah puasa Ramadhan diakhirkan sampai tahun kedua hijriyah. Dan tatkala hati kaum muslimin telah tertanam Tauhid yang kokoh dan pengagungan mereka terhadap syiar-syiar Allah yang begitu bersemangat, maka dipindahkanlah hati secara bertahap kemudian dimulailah awal pertama kali puasa dengan kebebasan untuk memilih disertai anjuran untuk melaksanakan puasa, karena dahulu puasa terasa sangat berat bagi para sahabat. karena dahulu bagi siapa saja yang tidak kuat untuk berpuasa maka mereka membayar fidyah. 

Allah Ta’ala berfirman :

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin. dan barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 184)
  • Barangsiapa Yang Hadir Di Negeri Tempat Tinggalnya Pada Bulan Itu Hendaknya Ia Berpuasa
Kemudian setelah turun ayat yang pertama lalu turunlah ayat sesudahnya yang menghapus hukum sebelumnya.

Allah Ta’ala Berfirman :

“(Dan hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk dan pembeda (antara yang haq dan yang batil. karena itu barangsiapa yang hadir (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka). maka (wajiblah baginya mengganti puasanya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain, Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Baqarah : 185)

Puasa Ramadhan adalah merupakan pondasi Islam, dan salah satu dari rukun-rukun Islam.

Rasulullah Sallallahu ’Alaihi Wa Sallam Bersabda :

“Islam dibangun diatas lima perkara, Bersahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq untuk di Ibadahi kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah, Mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, Menunaikan Haji ke Baitullah, dan Berpuasa di Bulan Ramadhan” (Bukhari)

Insya Allah Bersambung  ...............

Kamis, 02 Agustus 2012

SILATURAHIM DAN BUKA PUASA BERSAMA MENYAMBUT MILAD TAPAK SUCI KE-49

SILATURRAHIM & BUKA PUASA BERSAMA
MENYAMBUT MILAD TAPAK SUCI KE-49
CARDAMON RESTO JAKARTA


 

Sekitar 300 Peserta Memenuhi Cardamon Resto, Tempat Digelarnya Acara silaturahim Dan Buka Puasa Bersama Dalam Rangka Menyambut Milad Tapak Suci Yang Ke-49.
Dalam Acara Tersebut Tampak :
1. Ketua Umum Pimpinan Pusat Tapak Suci Bapak H. Muchdi Purwopranjono, PBr
2. Ketua Departemen Humas PPTS Bapak Drs. H. Hisbullah Rahman, PBr
3. Bendahara Umum PPTS Bapak H.M.Shiddiq SP, PUa
3. Ketua Pimpinan Wilayah XXXII Tapak Suci Banten Bapak H. Asmuni Ilyas, PKa
4. Ketua Pimpinan Daerah Tapak Suci Kabupaten Serang Bapak Muhammad Irfan, KUa
Dan Tamu Undangan Dari PP Muhammadiyah Serta Segenap Kader Dan Pendekar Tapak Suci Dari Seantero Jakarta Dan Banten.

Berpose Bersama Jajaran Pengurus
Pimpinan Pusat Tapak Suci


 Pejabat PPTS Berpose Bersama
PP Muhammadiyah


Foto Narsis 
Peserta Silaturahmi Tapak Suci